Tuesday, September 26, 2017

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo Terpesona Panggung Politik?



Belakangan ini sorotan tajam dihujamkan kepada Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Tajamnya sorotan itu disebabkan karena Sang Panglima dinilai sudah terpesona dengan wajah indah politik, yang sebenarnya berada di luar radius kinerjanya sebagai alat negara.

Padahal, pasca reformasi, sudah disepakati bahwa TNI dikembalikan dalam kodratnya sebagai tentara profesional. Dengan begitu TNI pada dasarnya tidak boleh berpolitik. Itu telah diatur dalam Undang-Undang. Politiknya adalah politik negara, bukan politik panglima.

Ingat bahwa bangsa ini sudah trauma atau mempunyai kisah traumatik taktala rezim junta militer memegang kekuasaan selama lebih dari 30 tahun di bawah rezim Soeharto.

Sejarah telah membuktikan di bawah rezim junta militer, represifitas terjadi di mana-mana dan kapan saja. Tentunya kita semua tak mau sejarah kelam itu kembali terulang.

“Apabila TNI berpolitik, sama dengan ia mengorbankan koeksistensi antarinstitusi negara seperti Polri, BIN, dan Kemenhan," kata Ketua SETARA Institute, Hendardi melalui keterangan tertulis, Minggu 24 September 2017 dan dikutip sejumlah media termasuk Netralnews.com.

Bermula dari Isu 5.000 Pucuk Senjata

Kegerahan publik terhadap sikap Gatot Nurmantyo itu bermula dari pernyataan Jenderal bintang empat itu tentang hasil data intelijen yang menyebutkan adanya institusi di luar Polri yang memesan 5.000 pucuk senjata dengan mencatut nama Presiden Jokowi. Yang mana seharusnya informasi seperti itu pantang disampaikan ke publik.

Seharusnya Panglima TNI paham bahwa data intelijen seperti itu cukup disampaikan kepada Presiden. Bukan diumbar kepada forum silaturahmi purnawirawan TNI yang diliput wartawan secara luas.

Seperti dikatakan Hendardi dari Setara Institut bahwa pernyataan Gatot seperti ini sudah terjadi kesekian kali di September 2017. Hendardi, seperti dikutip sejumlah media online, mengatakan Gatot terus mencari perhatian publik dengan pernyataan-pernyataan permusuhan, destruktif, dan di luar kepatutan seorang Panglima TNI.

"Selain isu PKI, pemutaran film G30SPKI, perang pernyataan dengan Menteri Pertahanan, pengukuhan diri sebagai Panglima yang bisa menggerakkan dan memerintahkan apa pun pada prajuritnya, adalah akrobat politik Panglima TNI yang sedang mencari momentum politik untuk mempertahankan eksistensinya jelang masa pensiun," kata Hendardi.

Publik tentu masih ingat bagaimana secara sepihak, Gatot menghentikan hubungan latihan perang dengan Tentara Australia. Padahal secara prosedur harusnya penghentian itu harus disetujui oleh Kementerian Pertahanan, Kementerian Luar Negeri, dan Presiden.

Kemudian Panglima kelahiran Tegal, 13 Maret 1960 ini disebut-sebut terlibat dalam mobilisasi gerakan Islam konservatif yang mengepung Jakarta di akhir tahun 2016. Hal ini diperkuat dengan laporan dari Allan Nairn, seorang Jurnalis Investigatif yang mempunyai track record dalam meliput aktivitas militer di Indonesia, dalam laporannya Nairn menyatakan bahwa Jenderal Gatot terlibat dalam rencana makar terhadap pemerintahan Jokowi.

Meskipun laporan Nairn itu telah dibantah keras oleh Gatot dengan menegaskan bahwa Jokowi adalah Panglima tertinggi TNI dan karenanya ia tak mungkin berkhianat. Tak lupa ia juga menyatakan bahwa Allan Nairn adalah orang gila, sehingga tak perlu ditanggapi.

Akan tetapi, meskipun sang Jenderal dengan tegas membantah, gelagatnya yang terus-menerus mengeluarkan berbagai pernyataan politis semakin memperkuat suatu sinyalemen bahwa Sang Jenderal memang bermain politik.

BACA JUGA:
  • Namanya Dipelintir Jonru, Muannas Tunjukkan Surat DPP Rabithah Alawiyah
Tak selesai sampai di situ, ia kembali bermanuver. Di Rapimnas Partai Golkar pada pertengahan bulan lalu ia tak sekadar menghadiri undangan rapimnas, lebih dari itu ia membacakan puisi karya Denny JA dengan judul ‘’Bukan Kami Punya’’.

Puisi tersebut memuat bait-bait yang menyindir pemerintahan saat ini. Sesuatu yang sebenarnya tak etis dilakukan oleh seorang Panglima TNI yang secara institusi merupakan bagian dari pemerintahan saat ini.

Terlalu Diberi Panggung

Tanpa bermaksud membandingkan antara presiden dari kalangan militer dan non militer, terutama di zaman Soeharto dan SBY dalam mengelola militer, tak ada satupun Panglima TNI yang kerap bermanuver seperti Jenderal Gatot.

Para Panglima TNI di bawah kepemimpinan Soeharto dan SBY terlihat patuh terhadap panglima tertinggi TNI. Tak ada Panglima yang wara-wiri berbicara di banyak kesempatan. Soeharto dan SBY tahu betul bagaimana menjinakkan militer, lebih khusus di kalangan elitnya.

Berbeda dengan era Jokowi, Ia terlihat masih meraba-raba melihat watak dari kalangan elit militer. Sehingga hal ini berimbas pada sikapnya yang kurang tegas dan menjurus ke arah kompromistis.

Jokowi sejatinya paham bahwa untuk menciptakan target pertumbuhan ekonomi, Ia butuh stabilitas keamanan dan pertahanan. Sehingga mau tidak mau ia merangkul kalangan elit militer dan tidak mau mengambil risiko dengan berlaku tegas kepada mereka.

Apakah dengan begitu Jokowi terkesan membiarkan Panglima TNI bebas bermanuver dan membangun wacananya soal negara ini sendiri. Sehingga tak heran namanya semakin hari semakin populer di tengah masyarakat. Bahkan, hingga ia dieluelukan untuk menjadi calon pemimpin masa depan bangsa. Maka jangan heran kalau Ia semakin laris menjadi pembicara dipelbagai ruang-ruang publik.

Lalu bagaimana? Jawabannya, TNI di bawah kendali Panglima harus kembali ke habitatnya sebagai tentara professional dengan konsentrasi penuh pada keamaman dan keselamatan negara. Sang Jenderal tidak bolah lagi diberi panggung untuk bermain politik dan bercengkerama dengan para politisi.

Inti masalahnya adalah bahwa beragam rentetan pernyataan-pernyataan kontroversial yang berbau politis tersebut terjadi akibat sang Jenderal terlalu banyak diberi panggung untuk membangun citra politik atau apa pun namanya.

Kalaupun ada orang atau kelompok yang memberinya panggung, hal itu harus disikapi oleh Presiden yang dulu mengangkatnya. Singkatnya, panggung politik tidak boleh lagi diberikan kepada Sang Jenderal Gatot Nurmantyo.

Kalaupun ada yang usil dan senang memberi panggung, ya, tunggu Sang Jenderal pensiun. Setelah pensiun, silakan saja Sang Jenderal bersuka ria dengan politik; entah menciptakan panggung atau memanfaatkan panggung politik yang disediakan kepadanya.



0 comments:

Post a Comment